Alike in Dignity (Terjemahan)

Disclaimer           : All Harry Potter Character @ JK Rowling

Alike In Dignity Plot @ Musyc

Translated by me

Pairing                  : Draco-Hermione

Rate                       : T

A/N : Ini adalah cerita Romeo and Juliet versi Harry Potter / Dunia Sihir dengan pairing my favorite OTP Dramione tapi jangan salah, yang jadi Romeo and Julietnya justru bukan Draco maupun Hermione melainkan Scorpius dan Rose. Dramione disini berperan sebagai orang tua dari si Romeo maupun Juliet. Pas banget kan dari background mereka yang musuh bebuyutan dari jaman umur 11 tahun lol. Jadi FF ini menceritakan tentang di balik tragedi Romeo and Juliet. Bagaimana situasi keluarga yang ditinggalkan dua sejoli tersebut, khususnya orang tua mereka yang berselisih, alasan di balik tragedi, hah Dramione banget lah. Enjoy..

Summary: Satu tahun setelah kematian putra-putri mereka, Draco dan Hermione bertemu di pemakaman di bawah sebuah pohon sycamore.

Daily Prophet – 23 August 2022

kemarin lalu menjadi kejutan dan tragedi yang mengguncang dunia sihir ketika Scorpius Malfoy dan Rose Weasley menghilang selama tiga hari, yang akhirnya diketahui berada di reruntuhan Kastil Calvay. Bukti mengindikasikan bahwa pasangan muda ini tewas bunuh diri. Weasley (16), putri dari pasangan Ron Weasley dan Hermione Granger, keduanya adalah pahlawan perang II dunia sihir, ditemukan meringkuk dalam dekapan Malfoy (16), satu-satunya putra dari mantan pelahap maut Draco Malfoy dan Astoria Greengrass (almarhumah). Penyelidikan masih dalam tahap lanjutan. Kementian sihir dan kedua keluarga yang ditinggalkan memilih untuk tidak berkomentar.

Mordant Vines Wizarding Cemetery – 27 August 2023

Draco mengusapkan jari-jarinya ke bawah batu nisan, menelusuri jejak tajam dan baru dari nama dan tanggal yang diukir dalam rangkaian tulisan yang jelas. Scorpius Hyperion Malfoy, 19 July 2006 – 20 August 2022. Batu nisan marmer berwarna hitam yang sangat serasi dengan batu nisan  disebelahnya, walaupun tujuh tahun sejak kematian Astoria telah memudarkan pahatan di batu nisannya. Waktu dan seringnya sentuhan Draco membuat ukiran namanya memudar. Draco mengulurkan tangannya, cincin platinum pernikahan berkilauan di kulit pucatnya, dan meletakkan telapak tangannya di atas pahatan nisan nama istrinya. Heliotrope dililit dengan Rosemary – pengabdian dan kenangan.

Bibirnya bergetar saat ia mengingat argumen yang mereka miliki pada hari-hari terakhirnya. Aku tak ingin kau berduka selamanya, Draco, katanya sebelum batuk di saputangan sutra yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Dia melipatnya untuk menyembunyikan bercak-bercak darah. Berdukalah jika kau ingin, tapi akhirilah. Jangan jalani hidup mu dalam kesedihan. Aku ingin anak kita tumbuh bahagia. Aku ingin kau hidup bahagia.

”Maafkan aku, Astoria,” bisiknya, kembali perhatiannya pada nisan anaknya. “Maafkan aku, Scorpius. Aku telah gagal. Aku tidak tau bagaimana atau apa yang salah, tapi… tapi aku telah gagal pada kalian berdua.”

Ia merapatkan tenggorokannya dan meletakkan dahinya pada batu nisan. Matahari baru saja mengambil dinginnya batu nisan, dan Draco merasakan dingin membasahi dirinya. Angin lembut membawa gumaman suara di pemakaman, berkibar di antara deretan batu dan kuburan yg tertutup rumput. Draco tidak menoleh, tidak bergerak.

Duka yg membebaninya, memberatkan bahunya. Draco menutup matanya karena meremang dan perih. Dia merapatkan bibir untuk menahan suara apapun, tapi membiarkan air mata lolos dari bawah kelopak matanya, menyelinap ke pipi dan dagunya, jatuh diam-diam untuk meredupkan kelopak mawar merah-hitam dan putih krisan yg diletakkan di kaki batu. Ratapan dan kesedihan.

Pohon-pohon sycamore ditanam di dekat deretan nisan Malfoy, daun-daunnya bergerak dalam angin yg berdesir lambat. Lucius, Narcissa, Astoria, Scorpius. Satu tempat menunggu di tengah, batu marmer hitam yang masih belum diukir. Bahu Draco bergetar dan menguatkan tangannya di atas nisan Scorpius saat ia berjuang untuk bernapas. Langkah-langkah kaki berderak di jalan kerikil di dekatnya, datang semakin mendekat. Mendekat.

Draco menegang, punggung dan lututnya sakit akibat dari posisinya berjongkok, tapi ia tidak bergerak. langkah-langkah kaki berhenti, dan keheningan kembali mengerubunginya. Bahkan desiran angin dan daun-daun sycamore berhenti bergerak. Draco menghela napas dalam-dalam, memaksa udara masuk melewati tenggorokannya dan api dingin berkobar di hatinya. ia memaksa dirinya untuk berdiri, bersandar pada batu nisan Scorpius untuk menjaga keseimbangan. ia mengusapkan tangan di mata dan pipinya dan menyeka air mata yg berkumpul di depan sulaman jubahnya.

Ia berbalik, heran melihat wanita yg berdiri di jalan setapak, menunjukkan jari-jari kaki sepatunya satu inci dari batas obelisk yang ditandai di salah satu sudut plot Malfoy. Ikal rambutnya ditata ke belakang dengan sisir emas. Hermione menatapnya, tangannya terkunci di sekitar tangkai bunga lily putih.

Draco mengangguk padanya, hanya sekali, untuk menyatakan bahwa ia menyadari kehadirannya, dukanya dan kepedihannya. Hermione berjalan mendekat saat Draco berbalik mengembalikan perhatiannya pada batu nisan. Dalam diam, Hermione berdiri disamping Draco. Ujung jubahnya berkibar dikakinya. Dia berjongkok didepan batu nisan dan meletakkan bunga lili putih di depannya. Draco tidak melihatnya ketika Hermione kembali berdiri, menunggunya untuk berbicara. Butuh satu menit penuh sebelum dia melakukannya.

“Apakah kau tahu?” Hermione bertanya.

Draco melipat tangannya ke lengan baju untuk menghangatkan jari-jarinya.

“Apakah aku tahu apa?” katanya, suaranya terdengar berat.

“Putri ku. Putra mu. Apakah kau tau? Apakah kau menduganya?”

Draco mendengar nada suaranya. Dia tak bisa menahan untuk tidak mendengarnya. Itu adalah nada yg sama di dalam tenggorokannya setiap pagi ketika dia bangun dan mengingatnya. Menghela napas, Draco menghadap Hermione. Mata coklat madunya berkilau, tapi dagunya terangkat dan rahangnya tertata. “Aku tau dia mempunyai kekasih,” kata Draco, memperhatikan untuk melihat kemarahan yang tidak pernah datang. “Aku tak tahu siapa. Aku sebenarnya menduga dia berkencan dengan seorang laki-laki, dengan melihat caranya menjaga serahasia mungkin.”

Tangan Hermione mengepal di sisi tubuhnya, kemudian dilepaskan mengejang, seolah-olah sedang melemparkan sesuatu ke tanah. Hermione mengelengkan kepalanya tanpa meninggalkan tatapannya dari wajah Draco. “Tidak,” katanya, suaranya bergetar. “Tidak, itu belum semuanya. Kau pasti tau lebih banyak. Kau pasti sudah tau sesuatu.”

“Aku tidak bertanya padanya. Aku tidak pernah bertanya. Aku tidak pernah tau sampai akhirnya sudah terlambat. Dia adalah seorang anak muda yg penuh rahasia. Kadang-kadang dia mengunci dirinya sendiri di kamarnya, mengurung dirinya di kamar, menutup semua jendela hingga menciptakan malamnya sendiri. Tertekan dan gila karna cinta, sepertinya. Sekarang Aku sangat berharap bahwa aku bisa bicara dengannya tentang ini.” Draco bertemu dengan mata Hermione. “Aku ingat bagaimana rasanya.”

Hermione tersentak kemudian merundukan kepalanya hingga rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Hermione berpaling dari Draco, berbalik membelakanginya. Bahunya merosot, lalu bergetar. Draco mendengar isakan. Draco baru akan meraih Hermione, tapi menarik tangannya kembali. “Tahun pertamanya, ketika Scorpius pulang kerumah untuk liburan natal,” Draco berkata, memaksa suaranya tetap tenang. “Dia mengatakan bahwa dia mempunyai seorang teman. Seorang gadis cilik dari Gryffindor, berambut merah. Aku tertawa dan berkata padanya, aku harap gadis itu bukan seorang Weasley. Dia tak pernah membicarakannya lagi. Tak pernah sekalipun.”

Hermione berbalik. Melipat tangannya di depan dada dan menatap Draco, air matanya mengalir. “Bagaimana bisa kau seperti itu?” Bisiknya. “Apakah kau tidak belajar apapun dari perang? dari apa yg telah terjadi setelahnya? Dari apa yg telah kita…” Hermione menutup matanya dan merapatkan mulutnya hingga kulitnya memutih. Setiap otot kecil di wajahnya bergetar saat ia berjuang untuk tetap mengontrol dirinya. Dia membuka matanya, berkedip agar air yang membubuhi bulu matanya pergi. “kenapa?”

“Aku iri padanya.” Hermione menatapnya, wajahnya memutih, air matanya mengering di pipinya. Draco tertawa tanpa rasa humor, terdengar seperti menahan sakit hati. “Kau percaya itu? Aku iri padanya, pada seorang anak berusia 12 tahun, dan aku cemburu padanya.” Hermione melangkah mendekat, dan mendekat, hingga ia bisa meletakkan tangannya pada dada Draco.

Draco tetap berdiri ditempat dan membiarkan Hermione melakukannya. “Mengapa?” Tanyanya lagi.

Dengan jemari yg gemetar, Draco meletakan tangannya pada tangan Hermione. Draco dapat merasakan hatinya berdegup kencang dibawah telapak tangan Hermione. “Kesengsaraan,” Draco berkata pelan. “Kesengsaraan yg mendalam hingga ketulang, mendarah daging. Dunia telah banyak berubah untuk membiarkannya memiliki apa yg aku tak bisa miliki. Aku sangat menyesal dengan apa yg telah aku katakan padanya, satu kali aku menyadari apa yg telah aku lakukan padanya, tapi semua itu sudah terlambat. Aku seharusnya berkata padanya untuk menghargainya, memperlakukannya dengan baik dan jangan pernah membiarkannya pergi. untuk membiarkan dendam yg lalu mati.”

Draco mencengkram jemari Hermione erat dan menggiringnya ke sebuah bangku kecil di pinggiran Malfoy plot, di bawah pohon sycamore. Hermione duduk disampingnya, bahunya menempel pada lengan Draco. Walaupun melalui lapisan kain yang memisahkan mereka, Draco bisa merasakan Hermione. Draco merogoh saku dalam jubahnya dan mengeluarkan sebuah foto. “Aku ke kamar Scorpius beberapa minggu yg lalu,” kata Draco pelan. “Aku menemukan ini,” Draco membuka foto tersebut dan memberikannya pada Hermione.

Di dalam foto tersebut terdapat Scorpius dan Rose saling melingkarkan tangan ke pinggang satu sama lain. Angin membuat rambut mereka kusut dan pipinya merekah, tapi mereka berdua memiliki mata yang bersinar. Mereka tersenyum menghadap kamera sebelum menghadap satu sama lain dan berbagi ciuman. Ini satu-satunya foto dimana Draco melihat keceriaan di wajah Scorpius.

“Aku tak tau dimana foto ini diambil,” Draco berkata. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh latar belakang foto itu, mengetuk jendela yg berbentuk melengkung pada bangunan di belakang pasangan muda tersebut. “Tapi aku tau ini diambil tahun lalu. Aku membeli baju yg dikenakan Scorpius di hari ulang tahunnya.”

“Somerset,” kata Hermione. Suaranya pelan dan parau, ia menyentuhkan ujung jarinya disekitar garis pipi Rose. “Pak Pendeta Terdekat, di Wells. Ini adalah jalan perumahan tertua di Eropa. Aku biasanya membawa Rose kesana setiap musim panas. Dia mencintai sejarah. Dia menarik-narik lengan baju ku dan memohon padaku untuk bercerita padanya tentang para imam yang telah tinggal di sana pada abad keempat belas atau lima belas.” Air mata menyelinap di pipi Hermione dan dia menyekanya dengan bagian sisi tangannya. Diam-diam Draco mengambil saputangan dari kantong celananya dan meletakkannya ditangan Hermione.

Hermione mengusap wajahnya dan memegang saputangan sutra yg telah kusut itu ditangannya. Draco memperhatikan tangannya saat bergerak. Dia melihat kulit pucat di jemarinya dimana pernah bertengger cincin pernikahannya disana, kini hilang setelah perceraiannya. Draco ingat pernah membacanya di Daily Prophet sekitar beberapa tahun yang lalu, dan tanpa sadar Draco mengusap ibu jarinya pada cincin yg dia tak pernah sanggup untuk menanggalkannya meskipun telah bertahun-tahun yang lalu sejak istrinya meninggal.

“Jika begitu, aku tidak terkejut jika Rose membawa Scorpius kesana,” kata Draco “Scorpius juga tertarik dengan segala sesuatu tentang sejarah. Dia akan duduk di galeri Manor selama berjam-jam, berbicara dengan potret. Aku tidak pernah tahu apa yang dia bicarakan dengan mereka, tapi itu bisa membuatnya mengisi waktu luang jadi aku membiarkannya.”

Hermione menyerahkan foto kembali padanya tapi Draco menghentikannya. “Simpan saja. Aku telah membuat copy-annya untuk ku.”

Hermione menutup foto tersebut dan menempelkannya di dadanya protektif. Setelah beberapa lama, menghembuskan napas lambat-lambat, lalu dia menyisipkan foto tersebut kedalam jubahnya. Hermione tetap diam beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya untuk mensejajarkan dengan Draco. “Terima kasih,” katanya. “Aku sangat menghargainya. aku punya banyak foto Rose tapi hampir kebanyakan foto bersama keluarga. Beberapa foto ada yg dengan teman sekolahnya. Dan hanya ada satu foto dirinya dengan pacarnya. Aku pikir Scorpius adalah satu-satunya pacar yang ia punya.”

“Aku pun yakin Rose adalah satu-satunya pacar yang Scorpius punya.” Kata Draco, perhatiannya terpusat pada rambut ikal yg menempel di pipi Hermione. “Malfoy tidak pernah menebar perasaannya dengan mudah. Jika dia mencintai seseorang, dia akan mencintainya dengan segala yang ada dalam dirinya, sepenuh hatinya.”

“Aku tau. Aku cukup tau bagaimana cinta seorang Malfoy.” Hermione melilitkan sisi ujung rok jubahnya pada jari-jarinya dan menundukkan kepalanya. “Semua orang mengatakan bahwa– bahwa Astoria adalah cinta terbaik dalam hidupmu. Kau pun pernah sekali mengatakan bahwa pernikahanmu dengannya adalah sebuah simbol yang telah membuatmu melupakan hal-hal yg telah kau lakukan di masa muda mu, karena tidak ada orang yang bisa memiliki jiwa terkutuk jika ia telah diberikan cinta seorang malaikat.”

Draco tertawa pelan. “Apakah aku berkata seperti itu? Betapa sombongnya diriku. Aku pasti sangat mabuk.”

“Jadi apakah itu benar? Apakah dia cinta terbesar dalam hidupmu?”

Draco pikir mungkin ia hanya berimajinasi mendengar suara Hermione bergetar, tapi guncangan di bahunya tidak menunjukan kesalahan atau cara tangannya mencengkram satu sama lain, mengerat hingga buku-buku jarinya memutih oleh tekanan. Draco tetap diam beberapa saat, kemudian mengulurkan dan meletakkan tangannya pada tangan Hermione. “Dia adalah salah satu diantara dua.”

Hermione bergetar. Dia menunduk sampai dagunya menekan dadanya, matanya sayu. “Dan yang satunya?” Bisiknya. Dia melepaskan cengkraman tangannya dan meletakan telapak tangannya pada telapak tangan Draco. “Yang kedua dari dua diantaranya? Apakah dia adalah alasan yg membuatmu iri pada putramu?”

“Kau pasti tau jawaban yang satu itu.” Draco mendekat padanya, dahinya bersandar pada pelipis Hermione untuk mengatur detak jantung yg bergemuruh tak karuan. Draco meremas tangan Hermione dengan lembut, mengusap ibu jarinya terhadap buku-buku jari milik Hermione, lalu perlahan-lahan berdiri tegak dan melepaskannya. Draco menghela napas dan  memeluk tangannya di sekitar kehangatan yg tersisa dari kulitnya yg baru saja bersentuhan dengan tangan Hermione. “Yang pertama dari dua diantaranya.”

Hermione menyeka pipinya dengan bagian sisi tangannya dan perlahan-lahan mengangkat kepalanya. “Apa yg terjadi pada kita?” Hermione bertanya dengan suara yg pelan. “Bagaimana kita bisa berakhir seperti ini? Aku bercerai, kau seorang duda, anak kita… meninggal bersama menantuku. Apa yg terjadi? Mengapa ini terjadi?”

Draco menatap kesebrang kuburan. “Kita berjuang terlalu banyak,” katanya dengan suara berat. “Kita berjuang dalam segala hal. Kita masih muda saat itu, perang masih sangat segar dalam ingatan. Kita masih memiliki luka yang belum sembuh. Aku pikir—“ Draco menggelengkan kepalanya. “Aku tau aku putus asa untuk membuktikan sesuatu. Untuk membuktikan bahwa aku bukan orang yg tak memiliki hati, kaki tangan pangeran kegelapan yg keji. Aku takut aku memanfaatkan mu, Hermione.”

“i let it” Hermione meletakkan tangannya dilengan Draco. “Aku tau betapa kau ingin menjadi sesuatu yang lebih dari seseorang sebagaimana kau dibesarkan. Aku tau betapa kau mendambakan sesuatu diluar dari kehidupanmu itu. Aku pikir…” Hermione tertawa pelan tanpa rasa humor seperti yang Draco lakukan sebelumnya. “Aku pikir aku mungkin bisa menolongmu membersihkan dosa-dosamu. Berpikir aku bukan wanita yg tepat. Itu membunuhku, kau tau. Untuk waktu yg lama, aku pikir aku gagal. Gagal pada diriku sendiri, gagal padamu. Kadang Aku melihatmu dengan Astoria di acara-acara kementrian atau bahkan hanya sekedar belanja, dan aku bisa merasakan sesuatu seperti api dingin berkobar di dalam diriku. Seperti seseorang telah memenuhi perutku dengan bulu yang terbuat dari timah. Aku tak tahan melihat bahwa dia bisa memberimu kedamaian yg aku tak bisa beri. Aku ingin membencinya. Tapi aku melihat betapa bahagia kau dibuatnya. Bukan aku orang yang tepat untukmu tapi dia. Dia membawakanmu kedamaian.”

Tawa Draco menggema, singkat dan sedih. “Kita sudah pasti tidak bisa menjaga kedamaian. Aku tidak berpikir kita bisa melewatkan hari tanpa berdebat. Tapi bukan berarti hanya itu yg ada pada dirimu. Itu bukan berarti bahwa kau tidak tepat untukku atau kita tidak cocok satu sama lain. Itu hanya karena waktulah yg bukan milik kita pada saat itu.”

Hermione menghela napas perlahan dan bersandar pada bahu Draco. “Tidak,” katanya, menggapai tangan Draco dan mengaitkan jemarinya dengan milik Draco. “Tidak pada saat itu. Terlalu banyak perselisihan dan amarah. Dendam dan permusuhan. Terlalu banyak.” Hermione menggelengkan kepalanya di bahu Draco dan meremas jemarinya. “Sudah waktunya untuk mengubur semua itu, Draco. Sudah waktunya sekarang, bukan begitu?”

Draco mendengarkan angin bertiup melalui pohon sycamore, mendengar detak jantungnya di telinga. Hermione hangat di sampingnya, membuat kobaran api dalam darahnya. Hermione mengangkat kepalanya dan bertemu mata Draco, dan Draco menemukan sesuatu tertulis di sana, terkubur dalam dan terkunci, cinta. Hal lembut yg terlambat ia ketahui. Draco menangkup pipinya, memiringkan kepalanya dan menciumnya. “Kita akan membuktikannya lebih baik kali ini,” bisiknya. Hermione tersenyum dan menciumnya lagi.

Tinggalkan komentar